Beragam upaya dilakukan pemerintah untuk membebaskan ibu kota DKI Jakarta dari belenggu kemacetan. Salah satu yang terlihat jelas adalah membangun sistem transportasi umum, seperti MRT, LRT, dan pemberlakuan sistem ganjil-genap untuk mobil pribadi.
Baru-baru ini, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan juga sempat melontarkan wacana untuk membatasi usia mobil pribadi. Jika bisa direalisasikan, kebijakan ini disebut-sebut akan menjadi salah satu instrumen yang mencegah penggunaan mobil pribadi secara berlebih.
Jika benar usia mobil pribadi mau dibatasi dengan alasan mencegah kepadatan lalu lintas, memang seberapa macet jalanan di DKI Jakarta?
"Kalau dilihat rasionya, antara kapasitas jalan dengan kecepatan itu sudah mendekati 1. Dan itu sudah enggak ideal. Setidaknya harus angka 0,5-0,6. Kalau sudah 0,8-0,9, kecepatan mobil mungkin 15 km/jam sampai 20 km/jam saja. Bahkan suatu saat akan stuck," kata Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi, ditemui detikcom, di Gedung Kemenhub, Jakarta.
Sebagai gambarannya, Perhimpunan Studi Pengembangan Wilayah Syahrial Loetan pernah mengatakan, ada sebanyak 18 juta kendaraan bermotor yang beredar di jalanan Jakarta. Dengan jumlah sebanyak itu, jika seluruhnya turun secara berbarengan ke jalan, maka akan menciptakan kemacetan total.
Menurut Budi, untuk mengatasi kemacetan Jakarta, solusi jangka pendek yang perlu dilakukan adalah manajemen lalu lintas. Arti sederhananya 'memaksa' pengguna kendaraan pribadi untuk pindah ke angkutan massal.
"Yang kami dorong, sebelum menyangkut kebijakan pembatasan usia mobil pribadi, adalah pembatasan kendaraan operasional. Jadi ada manajemen lalu lintas yang diterapkan di beberapa kota. Kota-kota besar terutama, untuk membatasi pemakaian mobil dan motor pribadi," terang Budi.
Caranya, bisa dengan penerapan ganjil-genap, dan melarang motor melewati jalan tertentu, termasuk juga memperbaiki manajemen parkir. "Misalnya di kota besar, kayak Jakarta atau Bandung, radius berapa km dari pusat kota. Itu dikenakan parkir cukup tinggi barangkali, misal Thamrin-Sudirman itu per jam misalnya Rp 2.000-Rp 3.000. Mungkin bisa dinaikkan jadi Rp 10.000 per-jam. Jam pertama Rp 10.000, jam berikut bisa Rp 2.000. Jadi orang parkir 2 jam udah kena mahal. Kan mikir dia," lanjutnya.
"Padahal kalau pakai Transjakarta, Rp 6.000 sampai Rp 7.000 dia sudah bisa ke mana-mana kan. Jadi ini bisa mendorong shifting ke arah penggunaan transportasi umum," pungkasnya.